DESENTRALISASI, OTONOMI, PEMEKARAN DAERAH DAN POLA PERKEMBANGAN WILAYAH DI INDONESIA
Abstrak
Kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah yang diikuti dengan
kebijakan pemekaran daerah mengakibatkan perubahan pola perkembangan
wilayah. Dalam kurun waktu sepuluh tahun sejak keluarnya UU Otonomi
Daerah tahun 1999 dan PP Pemekaran Daerah tahun 2000 jumlah daerah
otonom hampir berlipat dua. Semakin banyaknya daerah otonom diikuti oleh
permasalahan akibat semakin besarnya beban pendanaan otonomi daerah
dan rendahnya pencapaian tujuan pemekaran daerah. Rendahnya tingkat
pencapaian tujuan pemekaran daerah disebabkan antara lain oleh
longgarnya instrumen persyaratan pembentukan daerah otonom baru. Dalam
tulisan ini disajikan hasil analisis dalam dimensi geografis untuk
menemukan persyaratan minimal apa saja yang diperlukan dalam pembentukan
daerah otonom baru untuk mendukung keberhasilan pencapaian tujuan
otonomi daerah .
Kata kunci : desentralisasi, otonomi, pemekaran daerah, moratorium.
PENDAHULUAN
Perkembangan
wilayah biasanya merupakan wujud dari keinginan masyarakat di suatu
daerah untuk tumbuh dan berkembang dari segi ekonomi, politik, sosial,
budaya dan keamanan, dalam dimensi geografis. Tingkat perkembangan
wilayah dapat dilihat dari rasio luas wilayah terbangun (built-up area)
terhadap total luas wilayah. Semakin besar rasionya, maka semakin tinggi
tingkat perkembangan wilayahnya. Semakin luas built-up areanya dapat
diartikan semakin tinggi aktivitas ekonomi masyarakatnya. Kondisi
tersebut dapat dilihat dari semakin rapatnya jaringan jalan, semakin
meluasnya wilayah perkantoran dan perdagangan, semakin menyebarnya
wilayah pemukiman dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan tingginya
peluang kerja.
Semakin meningkatnya kegiatan ekonomi mulai dari pusat pusat bisnis
(central business district atau CBD) yang cenderung berkembang ke arah
luar, baik secara difusif maupun secara lompatan katak (leaf frog),
mengakibatkan tumbuhnya kota kota satelit sebagai lokasi pemukiman baru.
Oleh karena sebuah pemukiman kota baru atau kota satelit membutuhkan
luas tanah yang besar dan di dalam wilayah kota sendiri ketersediaan
tanah semakin terbatas dan cenderung sangat mahal, maka lokasi kota kota
baru tersebut akan menyebar di luar wilayah kota asalnya. Proses inilah
yang kemudian menyebabkan wilayah administratif tetangganya memperoleh
manfaat dengan semakin berkembangnya daerah perbatasannya.
Berkembangnya wilayah administratif yang berbatasan dengan kota kota
besar inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya daerah otonom baru
dari pemekaran daerah induknya. Proses seperti inilah yang semestinya
menjadi acuan dasar dalam melahirkan daerah otonom baru di Indonesia.
Sebuah daerah yang sudah layak menjadi daerah otonom karena memiliki
potensi ekonomi yang memenuhi syarat bagi kehidupan warganya untuk dapat
tumbuh dan berkembang. Secara perlahan tapi pasti, tanpa menimbulkan
beban keuangan negara, wilayah tersebut akan berkembang sesuai mekanisme
pasar.
Perkembangan wilayah seperti yang dijelaskan di atas, pada kurun waktu
tertentu akan tumbuh menjadi suatu megapolitan area. Gabungan kota kota
dalam suatu megapolitan area memiliki ciri kehidupan yang sangat efisien
dan efektif. Interaksi antar kota terjauh dapat ditempuh paling lama
dalam satu jam, dalam jarak terjauh sekitar 300 – 600 km. Kota
megapolitan tersebut seperti Boswash (Boston-Washington), Chipitts
(Chicago-Pittsburg) atau Sansan (Santa Barbara – San Diego) di Amerika
Serikat (Haggett, 2001). Di Indonesia, fenomena di atas sudah barang
tentu memiliki perbedaan karena tingkat kemajuan ekonomi, kondisi sosial
politik dan budaya yang tidak sama dengan negara negara tersebut. Dalam
skala yang lebih kecil dijumpai area Jabodetabek, Gerbangkertasusila
dan Joglosemar.
Di Indonesia, pola perkembangan wilayah sebelum tahun 1998 mengalami
perubahan sejak bergulirnya era reformasi setelah tahun 1998. Fenomena
tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan kebijakan sentralisasi
menjadi desentralisasi (otonomi daerah). Kebijakan tersebut tertuang
dalam UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Dalam rangka implementasi kebijakan
tersebut maka dikeluarkan PP No. 129 tahun 2000 tentang persyaratan dan
tata cara pembentukan daerah otonom baru, penghapusan dan penggabungan
daerah otonom. Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan PP
No. 78 tahun 2007.
Kebijakan otonomi daerah sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dalam naungan wilayah NKRI yang semakin kokoh
melalui strategi pelayanan kepada masyarakat yang semakin efektif dan
efisien dan adanya akselerasi pertumbuhan dan perkembangan potensi
daerah yang semakin cepat. Dalam bahasa yang sederhana yaitu untuk
mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan lebih merata. Masing masing
daerah otonom didorong dan dipacu untuk tumbuh dan berkembang secara
mandiri sesuai kewenangan yang diberikan untuk mengelola potensi
daerahnya masing masing. Dengan demikian diharapkan bangsa Indonesia di
masa datang akan lebih mampu bersaing dengan bangsa bangsa lain di dunia
dalam persaingan global yang semakin ketat.
Seiring dengan perjalanan implementasi kebijakan otonomi daerah di
Indonesia muncul berbagai persoalan yang memerlukan usaha usaha
perbaikan baik dalam substansi peraturan perundangan maupun teknis
pelaksanaan di lapangan. Beberapa masalah yang dipandang sangat penting
untuk segera diatasi adalah (Kemendagri, 2010):
1. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak tahun 1999 telah terbentuk daerah
otonom baru sebanyak 205 buah yang terdiri dari 7 provinsi, 164
kabupaten dan 34 Kota. Dengan perkataan lain terjadi peningkatan 64%
dari jumlah daerah otonom tahun 1998 atau secara rata rata dalam satu
tahun lahir 20 daerah otonom baru.
2. Banyaknya daerah otonom baru tersebut memiliki implikasi terhadap
semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom baru yang dialokasikan
dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun,
tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9
triliun.
3. Beberapa fakta yang dijumpai antara lain adalah adanya daerah
otonom baru ternyata memiliki jumlah penduduk sangat sedikit bahkan ada
sebuah daerah otonom kabupaten baru hanya berpenduduk kurang dari 12.000
jiwa. Fakta lain adalah jumlah dan kualitasSDM sebagai personil
Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana dan sarana
pemerintahan dan munculnya berbagai konflik masyarakat lokal yang
mengiringi proses otonomi daerah antara lain akibat persoalan batas
wilayah.
Hal hal di atas adalah sebagian masalah yang timbul pada saat awal
digulirkannya kebijakan otonomi daerah dan pemekaran daerah berdasarkan
perangkat UU dan peraturan pelaksanaannya. Perangkat peraturan
pelaksanaannya inilah yang kemudian perlu disempurnakan sebagai salah
satu alternatif untuk menghindari timbulnya masalah yang sama di masa
yang akan datang.
Secara garis besar alur pemikiran dari tulisan ini dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Permasalahan pemekaran daerah dan alternatif pemecahannya.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran daerah
selama kurun waktu 10 tahun yang dipandang kurang memuaskan maka
dicanangkan kebijakan pemberhentian sementara (moratorium) terhadap
pembahasan usulan daerah otonom baru pada tahun 2010. Seiring dengan
keputusan moratorium tersebut dilakukan upaya komperhensif untuk menata
kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara khusus menetapkan
strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru antara lain dengan
menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang
harus dipenuhi. Salah satu persyaratan yang harus ada adalah parameter
dan indikator dari dimensi geografi, yang dalam tulisan ini menjadi
fokus bahasan utama.
Pada tahun 2011 secara administratif wilayah Indonesia terbagi dalam 33
provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Berdasarkan luasnya, wilayah
provinsi paling kecil adalah provinsi Bali dan DI Yogyakarta, sedangkan
yang paling luas adalah provinsi provinsi di Kalimantan kecuali
Kalimantan Selatan dan Papua (periksa peta 2). Wilayah wilayah provinsi
yang paling luas inilah, dari segi luas wilayah, memiliki potensi untuk
dimekarkan di masa datang.
Gambar 3. Sebaran ibu kota provinsi di Indonesia tahun 2011 (www.indonesia-tourism.com/map/).
Pembahasan masalah tentang apa saja parameter dan indikator utama aspek
geografi dan bagaimana bentuk data dan informasinya akan dilakukan
dengan pendekatan analisis eksploratif didukung data dari berbagai
sumber yang dianggap memenuhi persyaratan ilmiah. Sebagai pengantar
disajikan hasil sementara dari seminar yang diselenggarakan oleh
Kementrian Dalam Negeri bulan September 2011 seperti pada gambar 3 di
bawah ini.
Gambar 3. Parameter dan indikator geografi (Kemdagri, 2010).
Parameter dan indikator geografi seperti dalam gambar 3 di atas
merupakan hasil kajian tim yang disusun oleh pemerintah, dalam hal ini
Kementrian Dalam Negeri, yang selanjutnya menjadi bagian dari buku yang
berjudul Desain Besar Penataan Daerah Di Indonesia Tahun 2010-2025.
Dengan maksud untuk memberikan masukan perbaikan terhadap parameter dan
indikator dimensi geografi dalam penataan daerah di Indonesia maka dalam
tulisan ini akan dibahas konsep pengembangan wilayah dalam perspektif
disiplin ilmu geografi dan penerapannya pada kasus otonomi daerah di
Indonesia.
PEMBAHASAN
Berdasarkan sejarahnya, luas wilayah kedaulatan Indonesia sebagai sebuah
negara mengalami perkembangan yang dinamis. Pada saat Indonesia merdeka
tahun 1945, wilayah Indonesia terbagi dalam 8 provinsi yaitu provinsi
Sumatra, Kalimantan (Borneo), Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Sulawesi, Maluku, dan provinsi Bali dan Nusa Tenggara. Pada tahun 1963
Irian Barat menjadi provinsi termuda yang kemudian disusul oleh provinsi
Timor Timur pada tahun 1975 menjadikan jumlah provinsi di Indonesia
sebanyak 27 buah. Jumlah ini bertahan hingga tahun 1999 di mana pada
tahun 2000 jumlah provinsi berubah menjadi 26 buah karena provinsi Timor
Timur berubah menjadi negara yang merdeka yaitu Timor Leste. Sejak
tahun itu jumlah provinsi berkembang terus hingga saat ini, tahun 2011,
menjadi 33 provinsi (lihat gambar 3).
Gambar 3. Perkembangan jumlah provinsi di Indonesia tahun 1945 – 2010.
Pembagian wilayah administratif provinsi pada awal Indonesia Merdeka
dapat dilihat pada gambar 4. Pada gambar 4 tersebut wilayah Papua (Irian
Barat) baru masuk menjadi bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia
tahun 1963, sedangkan wilayah Timor Timur sempat menjadi bagian NKRI
selama 25 tahun (1975-2000). Berdasarkan peta tersebut tampak bahwa
provinsi Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur sejak Indonesia
merdeka sampai saat ini belum mengalami pemekaran.
Gambar 4. Pembagian wilayah administratif provinsi di Indonesia tahun 1945.
Pemekaran daerah periode 1999-2011.
Sejak era reformasi tahun 1998, potret pembangunan wilayah di Indonesia
mengalami perubahan yang signifikan. Kewenangan kepala daerah (gubernur,
bupati dan wali kota) dalam mengembangkan wilayah tercermin dari
berbagai kebijakan yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) sesuai
UU Otonomi Daerah. Pelaksanaan kegiatan pembangunan didasarkan pada
rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan idealnya disusun
berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah
sebagai pedoman dalam pengelolaan wilayah disusun berdasarkan keinginan
dan harapan rakyat (seluruh stake holder/pemangku kepentingan), yang
secara sederhana disebut sebagai cerminan “visi” yang ditetapkan
pemerintah daerah.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) adalah potret kondisi wilayah yang
diharapkan di masa depan, sekaligus dapat memberikan gambaran bagaimana
tingkat kesejahteraan rakyat yang ingin dicapai. Dokumen RTRW biasanya
dilengkapi dengan deskripsi bagaimana strategi dan cara mencapainya.
RTRW disusun dengan berpedoman pada rencana tata ruang nasional, artinya
apabila RTRW seluruh kabupaten dan kota dirangkai menjadi satu kesatuan
maka akan tampak mosaik rencana tata ruang nasional. Wajah wilayah
Indonesia masa depan dapat dilihat melalui hasil mosaik tersebut.
Persoalannya adalah apakah penggabungan seluruh RTRW kabupaten dan kota
yang ada dapat membentuk sebuah mosaik yang utuh? Ternyata, dari
beberapa kasus konstruksi mosaik dari beberapa RTRW kabupaten/kota yang
bertetangga dijumpai berbagai masalah seperti tidak sinkronnya rencana
kawasan di perbatasan antar wilayah, garis perbatasan antar wilayah
yang belum jelas, garis batas yang tidak match atau terjadi
penyimpangan, dan masalah lainnya.
Gambar 5. Diagram potensi konflik antar daerah otonom.
Salah satu dokumen RTRW adalah peta dan salah satu peta yang memberikan
informasi acuan pengelolaan wilayah adalah peta zonasi atau peta
kawasan. Peta RTRW tersebut disusun dalam skala yang berbeda-beda sesuai
kebutuhan informasi yang disajikan. Peta RTRW provinsi menggunakan
skala peta 1 : 100.000, untuk kabupaten menggunakan skala 1:25.000 dan
skala 1:10.000 untuk peta RTRW Kota. Oleh karena peta RTRW sangat
penting sebagai acuan pengambilan kebijakan pemerintah daerah dalam
mengembangkan wilayahnya maka setiap daerah otonom harus memiliki peta
RTRW.
Hasil evaluasi yang dilakukan oleh Kementrian Dalam Negeri menyebutkan,
di samping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang
dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom
baru serta munculnya konflik horisontal yang cenderung semakin
meningkat, ternyata masalah di atas juga disebabkan oleh lemahnya aturan
persyaratan dan pentahapan pembentukan daerah otonom baru. Oleh karena
itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian
sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan
penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya
menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru.
Perkembangan Pemekaran Daerah
Telah dikemukakan bahwa sejak tahun 1999 jumlah daerah otonom telah
berkembang pesat dari 319 daerah otonom menjadi 524 daerah otonom
(provinsi, kabupaten, kota)
Desain besar penataan daerah (Desertada) yang dibentuk oleh Kemendagri
antara lain berisi ketentuan ketentuan yang mengatur tahap pelaksanaan
operasional daerah otonom baru yaitu adanya tahap persiapan selama 3
tahun dan persyaratan minimal yang harus dipenuhi dari berbagai aspek
teknis. Salah satu aspek teknis yang harus dipenuhi adalah dari dimensi
geografi..
Berikut adalah hasill kajian yang disulkan tentang parameter, indikator,
standar minimal dan data yang dibutuhkan sebagai kelengkapan
persyaratan teknis daerah otonom baru.
Parameter Definisi Indikator Definisi Standar (Ukuran) Minimal Data yang dibutuhkan
Peta Dasar
Peta dasar adalah peta yang digunakan sebagai dasar membuat peta peta tematik
Tersedianya peta dasar untuk pembentukan kota
Ketersediaan peta dasar untuk pembentukan daerah otonom Kota.
Skala peta dasar Kota minimal adalah dalam skala 1 : 10.000
Data yang dibutuhkan minimal adalah garis batas administrasi Kecamatan,
Kelurahan, RW dan RT, jaringan jalan, jaringan rel kereta api, jaringan
sungai, saluran air, garis pantai, dan tugu koordinat geodesi serta data
garis batas administrasi yang belum jelas untuk mendeteksi dan
identifikasi potensi konflik.
Tersedianya peta dasar untuk pembentukan Kabupaten
Ketersediaan peta dasar untuk pembentukan daerah otonom Kabupaten.
Skala peta dasar Kabupaten minimal adalah dalam skala 1 : 25.000
Data yang dibutuhkan minimal adalah garis batas administrasi Kecamatan,
Kelurahan dan batas Desa, jaringan jalan, jaringan rel kereta api,
jaringan sungai, garis pantai, kawasan hutan dan Taman Nasional serta
data garis batas yang belum jelas.
Tersedianya peta dasar untuk pembentukan Provinsi
Ketersediaan peta dasar untuk pembentukan daerah otonom Provinsi.
Skala peta dasar Provinsi minimal adalah dalam skala 1 : 100.000
Data yang dibutuhkan minmal adalah garis batas administrasi Kabupaten
dan Kota (jika ada), jaringan jalan, jaringan rel kereta api, jaringan
sungai,garis pantai, kawasan hutan dan Taman Nasional serta data garis
batas yang belum jelas.
Hidrografi
Hidrografi adalah uraian atau deskripsi tentang air di daratan termasuk di dalam lapisan tanah.
Ketersediaan air bersih per kapita
Air bersih per kapita adalah adalah jumlah kebutuhan air bagi penduduk
terutama untuk air minum, mandi dan cuci, dan kebutuhan untuk kegiatan
ekonomi seperti pertanian dan industri.
Kebutuhan air bersih minimal adalah 1100 m3/th/kapita (PBB).
Total produksi air bersih dan jumlah penduduk
Perairan kepulauan
Perairan kepulauan adalah permukaan air di luar daratan dalam bentuk laut dan selat.
Pelayanan angkutan antar pulau.
Sarana dan prasarana transportasi laut yang menghubungkan dua daratan atau lebih.
Minimal ada pelabuhan penyeberangan dan kapal laut yang melayani kebutuhan angkutan antar pulau.
Jumlah pelabuhan, jumlah kapal, peta jaringan transportasi laut.
Tata ruang dan lingkungan
Tata ruang dan lingkungan adalah produk penataan ruang dan lingkungan.
Pemenuhan minimal luas lahan efektif sesuai peraturan perundangan dan
pemenuhan ruang terbuka hijau 30% untuk wilayah ibu kota provinsi, ibu
kota kabupaten dan kota.
Lahan efektif adalah wilayah daratan yang memiliki kemiringan lereng
antara 0 – 25%. Ruang terbuka hijau adalah area permukaan tanah yang
tertutup vegetasi yang berfungsi menjaga kelestarian lingkungan dan
mereduksi terjadinya bencana banjir dan pencemaran udara.
Luas lahan efektif minimal mampu memenuhi syarat daya tampung dan daya dukung lingkungan untuk keberlanjutan aktivitas penduduk.
Dokumen rancangan RTRW, peta lereng, peta penggunaan tanah, jumlah dan penyebaran penduduk.
Geohazard adalah bahaya yang bersumber baik dari alam seperti gempa,
erupsi gunung api, tsunami, maupun dari aktivitas manusia seperti
kebakaran pemukiman, wabah penyakit mematikan, banjir, yang potensial
untuk terjadinya bencana bagi manusia.
Kerawanan bencana
Kerawanan bencana adalah karakteristik wilayah yang rentan terhadap
terjadinya bencana yang mengakibatkan kematian dan atau kerugian
materiil yang sangat besar.
Tersedia peta kerentanan terhadap bencana perkotaan (urban disaster)
untuk Kota dan peta kerentanan terhadap bahaya dari alam untuk Kabupaten
dan Provinsi.
Peta pola pemukiman padat penduduk, sarana dan prasarana pemadam
kebakaran, peta drainase kota, peta jaringan jalan khusus untuk
pembentukan Kota, dan peta bahaya gempa, peta bahaya letusan gunung api
dan peta bahaya tsunami.
PENUTUP
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam kurun waktu 10
tahun telah terbentuk hampir 40% daerah otonom baru. Hal ini berarti
telah terjadi wilayah wilayah baru yang secara cepat mengalami
perkembangan sebagai hasil pembangunan dengan memanfaatkan bantuan
pendanaan khusus dari pemerintah pusat. Perkembangan wilayah pada daerah
daerah otonom baru sampai saat ini umumnya masih tergantung bantuan
pendanaan dari pemerintah. Jika ditinjau secara teoritis desentralisasi,
setelah ada keputusan politik untuk membentuk daerah otonom baru maka
pemerintah (pusat) wajib memenuhi kebutuhan dana pembangunan sampai
daerah tersebut mampu untuk mandiri. Oleh karena itu sesungguhnya aspek
pendanaan tidak dapat dijadikan obyek masalah.
Bertambahnya 205 daerah otonom baru dapat diartikan bahwa selama kurun
waktu 10 tahun telah terbangun 205 pusat perkembangan wilayah baru. Hal
ini juga dapat diartikan bahwa telah terjadi perluasan wilayah terbangun
(built-up area) secara progresif dan merata di berbagai pelosok
Indonesia. Sudah barang tentu perkembangan wilayah seperti ini prosesnya
berbeda dengan perkembangan wilayah yang terjadi secara alamiah
sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan ini. Perbedaannya adalah bahwa
keberlangsungan perkembangan wilayah dalam kerangka otonomi daerah
sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dari pemerintah pusat.
Persoalannya adalah berapa lama waktu dibutuhkan untuk daerah otonom
dapat berkembang secara mandiri? Apakah pemerintah memiliki anggaran
yang cukup untuk memenuhi dana yang dibutuhkan untuk kegiatan
pembangunan di daerah otonom baru, yang cenderung semakin besar setiap
tahun?
Oleh karena itu ke depan, pemerintah perlu lebih cermat dalam memutuskan
pembentukan daerah otonom baru dengan mempertimbangkan kelayakan
persyaratan dan potensi wilayah antara dalam dimensi geografis. Dengan
demikian, perkembangan wilayah dari daerah otonom baru yang terbentuk
dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri tanpa ada ketergantungan dari
bantuan pendanaan dari pemerintah (tidak menimbulkan beban bagi
pemerintah).