Syahruddin Demat (CR Daeng) |
Suatu ketika,
ketika rasa tetas dari kata,
kata kujalin jadi sekelumit cinta
cinta menyalin warna,
warna menyulin jadi manik mata;
mata menjelmakan ia,
ia yang mengasmai dirinya:
Asmara!
duh, Puang
ini diri serasa api:
terpapar oleh kobar yang menjalar dari amar asmara
terbakar pada hati yang melintuh karena rindu sentuh rengkuh
(aku diseru cinta,
menderu memenuhi rongga jiwa)
tak bisa tidak,
tak kuasa kumenolak:
terpedaya pada segala yang tampak,
terperangkap oleh jebak gelegak kehendak
(ini cinta tak terkendali, liar meliuk sampai diri pias pasi)
dikau, Asmara
menghambur begitu saja
mendebur tiba-tiba,
melimbur di sekujur sukma
menyusur di sesela lena rela dan hela hampa
(ini cinta tiada berperisai, nyeri menyembilu hingga diri ngilu ngeri)
tapi kau, Asmara
yang mendesir seketika,
ternyata pula sangat sementara
dikarenakan dikau, Asmara
tak meriapkan gelora gairah belaka
namun jua mendera mara yang melecutkan petaka
(singkat cerita:
cerita, sebagaimana adanya, tak senantiasa berakhir bahagia
bahagia, seniscaya lara, terlampau fana dalam kekal kala:
kala melahirkan musim dan menggulirkan cuaca
cuaca menyaksikan dan mencatat segenap peristiwa
peristiwa bermula lalu bermuara pada suatu ketika)
suatu ketika,
ketika rasa entas dari kata,
kata kupilin jadi sengkarut tanda
tanda memintal tanya
tanya menggumpal jadi prahara;
prahara memurkakan ia,
ia lalu menamai dirinya:
Luka!
(ini cinta tak tertahankan, melintas batas penanggungan)
weh, Puang . . .
sejak dini asmara ini telah terlarang
maka, biarkan ia kembali hilang;
kembali abu kembali arang
dan luka yang mengganjal,
jangan biarkan tertinggal
agar seluruh yang ganjil,
kembali pada nihil
(suatu ketika,
ketika para pengisah rampung bercerita,
ketika jejak sajak ini lenyap dilindap masa,
ziarahlah ke sebuah pusara
kuharap akan kautemu epitaf ini di sana:
“di sini, dalam damai sunyi, terbaring Asmara tanpa Luka”)
NB: *Puang, kosakata Bugis yang berarti Tuhan
ketika rasa tetas dari kata,
kata kujalin jadi sekelumit cinta
cinta menyalin warna,
warna menyulin jadi manik mata;
mata menjelmakan ia,
ia yang mengasmai dirinya:
Asmara!
duh, Puang
ini diri serasa api:
terpapar oleh kobar yang menjalar dari amar asmara
terbakar pada hati yang melintuh karena rindu sentuh rengkuh
(aku diseru cinta,
menderu memenuhi rongga jiwa)
tak bisa tidak,
tak kuasa kumenolak:
terpedaya pada segala yang tampak,
terperangkap oleh jebak gelegak kehendak
(ini cinta tak terkendali, liar meliuk sampai diri pias pasi)
dikau, Asmara
menghambur begitu saja
mendebur tiba-tiba,
melimbur di sekujur sukma
menyusur di sesela lena rela dan hela hampa
(ini cinta tiada berperisai, nyeri menyembilu hingga diri ngilu ngeri)
tapi kau, Asmara
yang mendesir seketika,
ternyata pula sangat sementara
dikarenakan dikau, Asmara
tak meriapkan gelora gairah belaka
namun jua mendera mara yang melecutkan petaka
(singkat cerita:
cerita, sebagaimana adanya, tak senantiasa berakhir bahagia
bahagia, seniscaya lara, terlampau fana dalam kekal kala:
kala melahirkan musim dan menggulirkan cuaca
cuaca menyaksikan dan mencatat segenap peristiwa
peristiwa bermula lalu bermuara pada suatu ketika)
suatu ketika,
ketika rasa entas dari kata,
kata kupilin jadi sengkarut tanda
tanda memintal tanya
tanya menggumpal jadi prahara;
prahara memurkakan ia,
ia lalu menamai dirinya:
Luka!
(ini cinta tak tertahankan, melintas batas penanggungan)
weh, Puang . . .
sejak dini asmara ini telah terlarang
maka, biarkan ia kembali hilang;
kembali abu kembali arang
dan luka yang mengganjal,
jangan biarkan tertinggal
agar seluruh yang ganjil,
kembali pada nihil
(suatu ketika,
ketika para pengisah rampung bercerita,
ketika jejak sajak ini lenyap dilindap masa,
ziarahlah ke sebuah pusara
kuharap akan kautemu epitaf ini di sana:
“di sini, dalam damai sunyi, terbaring Asmara tanpa Luka”)
NB: *Puang, kosakata Bugis yang berarti Tuhan
{ 0 komentar... read them below or add one }
Post a Comment