free web site traffic and promotion

Politik Menyakiti Hati Rakyat

Diposkan oleh Unknown on Tuesday, July 12, 2011

MENGAPA kita gunakan judul seperti itu? Karena cara berpolitik yang diterapkan para politisi sekarang ini sungguh tidak memedulikan perasaan rakyat. Mereka tahu apa yang dilakukan menyakiti hati rakyat, tetapi mereka malah memicu  rasa sakit hati itu.    Pemberian remisi dan grasi kepada para koruptor merupakan tindakan yang sangat menyakti hati rakyat. Apalagi itu hanya diberikan kepada orang-orang dekat, orang-orang memunyai akses kepada kekuasaan. Ini sungguh tidak sejalan dengan kampanye yang selalu dilontarkan bahwa kita tidak akan berkompromi terhadap korupsi.      Belum lagi habis rasa kecewa masyarakat terhadap pejabat pemerintah, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Marzuki Alie tanpa hujan, tanpa angin mengatakan bahwa mantan Direktur Bank Indonesia Aulia Pohan tidak terlibat korupsi. Atas dasar itu besan Presiden itu tidak bisa dikategorikan sebagai koruptor.

Ketua DPR yang berasal dari Partai Demokrat itu rupanya ingin cari muka kepada Presiden yang menjadi pimpinan partainya. Karena remisi dan pembebasan sang besan banyak dikritik orang, Marzuki sepertinya ingin mencari pembenaran terhadap langkah yang ditempuh pemerintah.

Seharusnya kalau memang ingin menjalankan kebijakan yang akan dilakukan, lakukan saja. Kalau pun masyarakat berkomentar karena merasa sakit hati, itu hak dari  masyarakat melampiaskan kekecewaannya, karena mereka merasakan adanya ketidakadilan. Kritik masyarakat itu adalah harga yang harus dibayar atas kebijakan yang diambil pemerintah.      Tidak ada kebijakan yang tidak ada risikonya. Ketika pemerintah mengambil sebuah kebijakan, maka pasti ada risiko yang harus mereka bayar. Risiko dari pemberian remisi dan grasi kepada koruptor adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kesungguhan pemerintah dalam memberantas korupsi.      Kalau pemerintah ingin mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat, maka harus ada tindakan nyata dalam memberantas korupsi. Pemerintah misalnya melakukan penyelidikan khusus terhadap dugaan rekening gendut jenderal polisi. Atau tindakan lain yang mengungkap korupsi kelas kakap. Bukan dengan mencari pembenaran atas kebijakan yang sudah dilakukan.      Sekarang ini ibaratnya kerusakan sudah terjadi, the damage have been done. Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengembali kepercayaan yang sudah terlanjur rusak ini. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan tindakan yang nyata.      Cara yang dilakukan  Ketua DPR hanya semakin menyakiti hati rakyat. Tepat karikatur yang digunakan Koran Tempo, "Maju tak gentar, membela besan Presiden". Kesan itu tidak bisa terhindarkan karena kuat sekali keinginan  Ketua DPR untuk melakukan pembenaran, atas sebuah tindakan yang sudah terbukti di pengadilan sebagai tindak pidana korupsi.      Kalau saja Aulia Pohan memang tidak terlibat tindak pidana korupsi, Marzuki Alie seharusnya bersuara ketika besan Presiden itu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau Ketua DPR ingin melawan ketidakadilan yang ia yakini, seharusnya ia protes ketika Aulia Pohan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.      Ketika Aulia Pohan sudah divonis hukuman penjara oleh Pengadilan Tipikor, maka terbuktilah secara sah ia ikut melakukan korupsi terhadap dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia sebesar Rp 100 miliar. Atas vonis tersebut maka Aulia Pohan harus menerima fakta bahwa ia akan disebut sebagai koruptor.     

Sekarang ini muncul gugatan atas keseriusan kita memberantas korupsi. Kita dianggap tidak konsisten dalam menetapkan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Kita memerlakukan korupsi sama saja dengan kejahatan umumnya.    

Pemerintah bahkan menggunakan alasan kemanusiaan dalam pembenaran pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor. Bahkan supaya kelihatan Pancasilais digunakan sila "kemanusiaan yang adil dan beradab" dan dengan demikian sah untuk memberikan grasi kepada Bupati Kutai Kertanegara Syaukani HS.     

Karena sifatnya menghukum dan memberikan penjeraan, hukum haruslah keras. Adagium Ilmu hukum bahkan mengatakan, lex dura sed tamen scripta, hukum itu memang kejam, kaku, dan keras.       Atas dasar itulah seorang eksekutif pasar modal di Amerika Serikat, Bernard Madoff dijatuhi hukuman 150 tahun penjara, karena kejahatan yang dinilai luar biasa dan merugikan perekonomian nasional. Kita tahu bahwa tidak mungkin ada orang yang usianya sepanjang itu. Tetapi karena sifat hukum yang memang kejam, kaku, dan keras, ibaratnya sesudah meninggal pun Madoff harus dikubur dulu di dalam penjara.     

Kita seringkali keliru dalam menerapkan rasa kemanusiaan itu. Ketika dua janda pahlawan yang tua renta memerjuangkan tempat tinggalnya, Menteri Hukum dan HAM tidak menggunakan dasar kemanusiaan untuk menghentikan tuntutan hukum kepada mereka. Atau ketika jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang melebihi kapasitas yang seharusnya, tidak ada rasa kemanusiaan yang dipakai untuk misalnya melepas saja narapidana di sana.     

Jelas sekali apa yang terjadi dalam pemberian grasi dan remisi kepada para koruptor tidak ada hubungannya dengan sikap kemanusiaan. Itu hanya pencitraan bahwa pemerintah peduli, padahal yang dimaksudkan adalah membela teman-teman dan kerabat.      Hentikan politik yang hanya menyakiti hati rakyat. Rakyat ini bukanlah orang yang mudah dibodohi. Tindakan seperti yang dilakukan Ketua DPR dalam membela besan Presiden hanya memerdalam luka yang sudah menyakitkan.

by : Suryopratomo


{ 0 komentar... read them below or add one }

Post a Comment